Sabtu, 26 April 2008

Suamiku Suka Daun Muda

Empat belas tahun lalu, tepatnya bulan April 1994, aku berkenalan dengan seorang laki-laki berperawakan tinggi, berambut lurus, warna kulit dan paras muka sedikit mirip ras Mongoloid. Laki-laki itu, kini adalah suamiku.

Sebelum berkenalan, awalnya aku dan juga beberapa kawanku menduga laki-laki itu adalah seorang WNI keturunan atau setidaknya ada memiliki darah suku bangsa Tionghoa. Akan tetapi dugaanku itu meleset jauh, ternyata dia tidak dilahirkan dari keluarga Tionghoa seperti diduga sebelumnya. Dari ceritanya lebih lanjut, laki-laki itu berujar bahwa ayahandanya adalah seorang campuran suku Jawa dan suku Sunda, sedangkan ibundanya adalah seorang campuran suku Betawi dan suku Sunda. Namun oleh karena dia dilahirkan dan dibesarkan di Tatar Sunda dengan tradisi dan adat istiadatnya, maka dia mengklaim dirinya sebagai 'Urang Sunda'. Pembawaannya yang tenang, bicaranya yang berisi dan santun dengan penyampaian yang apik, membuat aku tidak bisa menolak ketika suatu kali, dia menyatakan cintanya padaku. Kini, sudah hampir tiga belas tahun aku hidup bersamanya dengan disertai kedua anakku, yang sulung, laki-laki dua belas tahun, sedang yang kedua, perempuan tujuh tahun.


Selama masa pacaran kami yang memang singkat, hanya kesan-kesan diatas saja yang aku ketahui tentang suamiku. Namun seiring dengan perjalanan rumah tangga, sedikit-demi sedikit dia mulai menampakkan 'tabiatnya' yang lain. Dibalik pembawaannya yang masih tetap tenang, ternyata dia suka DAUN MUDA!

Seleranya yang begitu menggelora terhadap daun muda ini, ternyata tidak hanya dimiliki oleh dia saja. Ayah-ibunya, kakek-neneknya, abang-adiknya hingga teman-temannya juga punya selera yang sama tingginya terhadap daun muda ini. Awalnya aku tidak bisa menerima terhadap apa yang menjadi kebiasaan mereka, tapi lama-kelamaan aku malah turut menikmati juga. Belakangan aku menyadari ini sebagai kebiasaan masyarakat Sunda. Coba saja simak uraian berikut sebagaimana ditulis oleh Her Suganda pada harian Kompas, Jum'at 25 April 2008, halaman 64 :

...Tatar Sunda adalah daerah yang subur. Curah hujannya tinggi. Dengan demikian, seperti salah satu lagu Koes Plus "Kolam Susu", tongkat saja jika ditancapkan di daerah ini bisa tumbuh jadi tanaman. Di Tatar Sunda, berbagai jenis tumbuhan bisa tumbuh subur. Namun, bagaimana hubungan antara tingkat kesuburan suatu daerah dan tradisi makan penduduknya, agaknya merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji sebagai kekayaan local genius masyarakat setempat. Buktinya, walau hidup bertetangga, tradisi masyarakat Sunda dalam memanfaatkan tumbuhan disekitarnya berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah. Di daerah yang terakhir ini, berbagai daun-daunan dan tanaman lain berkhasiat obat dijadikan jamu. Tradisi itu tidak dijumpai di lingkungan masyarakat Sunda. Berbagai jenis tumbuhan dan biji-bijian yang diperoleh dari kebun, ladang bahkan dari pematang sawah atau hutan, langsung dimakan. Sebagian diantaranya terdiri dari daun-daunan yang disebut lalap.

"Orang Sunda paling suka daun muda" , begitu pernah dikemukakan Guru Besar Biologi Institut Teknologi Bandung Profesor Unus Suriawiria (alm) yang banyak meneliti khasiat berbagai jenis tumbuhan lalap yang dikonsumsi masyarakat Sunda. Sebagian besar tumbuhan itu merupakan tumbuhan liar yang bisa dijumpai di sembarang tempat. Bahkan terdapat tumbuhan yang dijadikan pembatas pagar, seperti tumbuhan bluntas. Dengan demikian, jika membutuhkan lalap, siapapun bisa dengan mudah memetiknya. Bluntas bukan hanya satu-satunya jenis tumbuhan pembatas pagar yang bisa dijadikan lalap. Masih terdapat tidak kurang dari enam jenis tumbuhan pembatas pagar lainnya yang dijadikan lalap, seperti mamangkokan, kastuba, puring, katuk, kedondong cina dan petai cina. Di luar itu, jenis tumbuhan yang bisa dijadikan lalap-lalapan ternyata sangat banyak jumlahnya.

Dalam penelitian yang dilakukan Profesor Unus Suriawiria, pada tahun 1986 ditemukan 70 jenis tanaman lalap yang bisa disantap langsung. Jumlah itu masih belum seberapa karena pada tahun 1993 ditemukan 24 jenis lagi sehingga jumlahnya mencapai 94 jenis. Sampai tahun 2000, ia mencatat tidak kurang dari 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalap. Yang menarik, dari berbagai jenis tumbuhan itu, tidak kurang dari 60 jenis diantaranya dimanfaatkan berupa bagian pucuk atau daun muda. Dengan demikian, kemanapun Urang Sunda melangkah, tumbuhan yang bisa dilalap berada di sekitarnya...

Ya, ini adalah kenyataan bahwa suamiku suka sekali melahap daun muda. Hehehe...

2 komentar:

Bongjun mengatakan...

krn dulu sekolah di bandung bongjun juga ketularan suka dengan daun muda, hahahaha. dan di sedonou bongjun agak tersiksa krn dun mudanya kdg-kdg tidak segar lgi.

RDII mengatakan...

wahhh, yg tue-tue suke ngan doun mudok ke ??
saye yg masih bujong suke benu makan doun mudok...hehehee...
ape ge pakai cecah sambol belocan, beuhh sedoppppp......