Sabtu, 26 Juli 2008

Jangan Pilih 'Yang' Busuk

Politisi adalah seorang yang terlibat dalam politik. Politisi juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan. Jadi politisi itu ada yang berkiprah di wilayah legislatif ada pula di wilayah eksekutif. Anggota Parlemen, Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota/ Bupati adalah jenis jabatan politik yang kita kenal dalam sistem politik di Indonesia. Pengurus/ aktifis partai politik juga bisa dikategorikan sebagai politisi.

Mereka menduduki jabatan-jabatan politik tersebut diatas (kecuali menteri) karena dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan langsung (pemilu/pilres/pilkada). Dan oleh karenanya, sesungguhnya mereka adalah pengemban amanat rakyat. Rakyat meletakkan kepercayaan, kehendak dan harapannya ke atas pundak para politisi ini.

Pemilu legislatif 2009 sudah di ambang pintu, berselang waktu tidak lama setelah itu akan disusul dengan pilpres. Partai-partai peserta pemilu 2009 lengkap dengan nomor pesertanya sudah ditetapkan oleh KPU. Terompet tanda dimulainya kampanye tahap sosialisasi tanda gambar dan nomor partai, sudah ditiup nyaring. Maka tersebutlah sebanyak 34 partai peserta Pemilu 2009, terdiri dari partai-partai besar pemenang pemilu 2004, partai-partai kecil pemilik 1-2 kursi di DPR dan partai-partai baru, yang sesungguhnya adalah partai lama (penderita electoral threshold) berganti nama. Atau partai baru sekalipun, namun di baliknya adalah wajah-wajah lama, tokoh-tokoh opportunist dan hyper-ambisius yang masih memiliki 'syahwat' kuat untuk tetap bercokol dalam perpolitikan Indonesia.

Seiring dengan kampanye sosialisasi ini, partai-partai sudah mulai mempersiapkan caleg-caleg jagoannya untuk ‘dijual’ kepada konstituen-nya. Persiapan perhelatan besar ini tidak hanya terjadi di tingkat pusat saja, pada tingkat daerahpun sudah mulai terasa. Dan dipastikan tidak terkecuali di kampung halamanku, Natuna tercinta.

Caleg-caleg dan calon pemimpin (baik pusat, provinsi, kota/ kabupaten) yang nanti akan muncul, sepenuhnya ditentukan oleh partainya masing-masing. Banyak caleg atau calon pemimpin yang dipilih oleh partainya karena pertimbangan loyalitas, kapasitas dan kapabilitasnya. Namun tidak sedikit partai-partai menentukan caleg atau calon pemimpinnya karena alasan popularitas saja, dengan mengabaikan kapasitas dan kapabilitasnya. Dan tidak jarang juga partai-partai menentukan caleg atau calon pemimpinnya hanya semata-mata karena alasan kemampuan finansialnya saja dengan mengabaikan moralitasnya. Dalam hal ini rakyat hanya disuruh memilih, tanpa diajak turut serta menyeleksi bakal wakil atau pemimpinnya.

Hati-hati menjatuhkan pilihan saat pemilu, pilpres atau pilkada nanti. Skandal amoral, saat ini menjadi isu sentral politisi di negeri ini. Korupsi, perselingkuhan, kekerasan rumah tangga dan pelecehan seksual menjadi berita harian di berbagai media. Oleh karena politisi adalah bagian dari selebriti, maka berita mengenai mereka acap kali muncul dalam acara infotainment, setiap saat, di semua televisi tanah air. Kalau kita tidak pandai-pandai memilih caleg atau calon pemimpin, maka akan hilanglah harapan yang kita titipkan di pundaknya. Lalu, lembaga dewan dan pemerintahan akan diisi oleh orang-orang yang kontra produktif dengan harapan kita semua.

Seumpama kita hendak menabung (menyimpan uang) di bank, harapan kita adalah uang kita tersimpan dengan baik dan aman, sehingga suatu saat kita memerlukan uang tersebut dapat kita ambil secara utuh (bahkan cenderung bisa lebih). Untuk harapan itu, sebelum kita menentukan bank pilihan, maka kita harus mengetahui dulu kredibilitas dan keunggulan tiap-tiap bank yang ada. Jangan simpan uang kita di bank yang tidak sehat! Begitu juga hendaknya saat menentukan pilihan pada pemilu, pilpres atau pilkada nanti, jangan memilih politisi busuk!

Adapun yang masuk kategori politisi busuk adalah mereka yang sudah memiliki track record seperti misal : korupsi, menipu, tidak bertanggung jawab pada lingkungan, pelaku kongkalikong (kolusi) yang merugikan negara dan sejenisnya. Kriteria ini akan terus berkembang seiring dengan temuan-temuan mutakhir.

Menurut koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, jenis-jenis politisi busuk adalah politisi yang boros, tamak dan korup. Kemudian, kriteria lainnya adalah orang yang melakukan pelanggaran HAM atau yang memberikan perlindungan bagi pelanggar HAM. Selain itu, politisi busuk adalah orang pemakai narkoba dan yang melindungi bisnis narkoba, melakukan penggusuran dan tindakan yang tidak melindungi hak-hak sosial dan ekonomi kaum petani, nelayan, buruh, dan rakyat miskin kota. Politisi busuk, juga bagi mereka yang melakukan pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan mengabaikan terhadap hak-hak perempuan.

Sebagai perempuan, dalam kesempatan ini aku ingin menghimbau kepada Anda semua, perempuan atau juga laki-laki agar tidak memilih politisi yang telah melakukan pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Politisi seperti itu tidak pernah bisa dipercaya. Bagaimana akan melindungi orang lain dan bahkan juga bangsa dan negara, bila terhadap perempuan (ibu dari setiap manusia adalah juga perempuan) dan anak-anak saja telah tega berlaku jahat. Politisi pelaku poligami juga perlu diberi high-light, mengingat ada pihak yang mensinyalir bahwa poligami juga adalah bagian dari perbuatan melakukan kekerasan terhadap perempuan (dalam hal ini menyakiti perasaan si isteri pertamanya). Politisi seperti itu tidak layak menjadi anggota dewan terhormat.

Menjelang pemilu, pilres dan pilkada nanti, masyarakat dihimbau tidak memilih politisi busuk dengan kriteria seperti disebutkan diatas, sehingga lembaga dewan atau pemerintahan bisa diisi oleh orang-orang yang berkualitas untuk memajukan bangsa dan negeri tercinta.

Selamat menyongsong pemilu 2009. Ingat, jangan pilih 'yang' busuk!

Kamis, 17 Juli 2008

Masa Depan Natuna Adalah Pariwisata

Salah satu panorama pantai di pulau Bunguran, Natuna (Dok. Wan Andriko).

Dalam pandanganku, masa depan Natuna bukan pada minyak bumi, bukan pula pada LNG. Keduanya bukan milik kita sepenuhnya dan keduanya bukan merupakan sumber daya alam yang bisa diperbaharui sehingga ketersediaanya sangat terbatas.

Mengutip pasal 14 UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, disebutkan daerah berhak mendapatkan bagian bagi hasil minyak bumi sebesar 15,5 persen, sedangkan sisanya untuk pemerintah pusat.


Persentase 15,5 itu terdiri dari 3 persen untuk provinsi yang tempat kabupaten penghasil minyak, 6 persen untuk kabupaten atau kota penghasil, dan 6 persen sisanya dibagi untuk kota atau kabupaten lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Sedang sisanya, sebesar 0,5 persen dibagi lagi antara provinsi, kabupaten atau kota penghasil dan kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Artinya Natuna hanya mendapatkan 6 koma nol sekian persen saja. Tragis!

Adapun bagi hasil untuk gas bumi adalah 69,5 persen untuk pusat dan 30,5 persen untuk daerah. 30 persen untuk daerah itu dibagi dengan rincian 6 persen untuk provinsi tempat kabupaten/kota penghasil, 12 persen untuk kabupaten atau kota penghasil, dan 12 persen lainnya untuk kota atau kabupaten lainnya dalam satu provinsi. Sedang sisa 0,5 persen dibagi lagi antara provinsi, kabupaten atau kota penghasil dan kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Artinya Natuna hanya mendapatkan 12 koma nol sekian persen saja. Lagi-lagi tragis!

Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.368.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Cadangan dalam angka-angka ini akan habis terkuras dari perut bumi Natuna hanya dalam kurang dari 50 tahun ke depan saja. Eksplorasi keduanyapun memerlukan teknologi tinggi dan SDM yang handal. Dan, keduanya tidak secara langsung menyentuh kebutuhan perut masyarakat setempat.

Lalu, apa yang akan menjadi masa depan Natuna? Perikanan laut? Jawabannya bisa “ya” bisa pula “tidak’.

Ya, karena Kabupaten Natuna memiliki kekayaan dan keragaman sumberdaya perikanan dan kelautan, seperti potensi perikanan sebesar 1.197.520 ton (Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Natuna, 2005).

Tidak, karena kekayaan yang satu ini terbukti rawan dari tindakan pencurian (illegal fishing) oleh nelayan asing dengan armada kapal tangkap modernnya. Sementara nelayan Natuna hingga saat ini masih nyaman dengan pompongnya dan dengan alat pancingnya yang sangat sederhana. Realitas inipun, tragis!

Lalu, potensi apa yang nyata adanya dan bisa menyentuh kepentingan ekonomi masyarakat Natuna secara merata? Kembali ke pandanganku. Menurut pandanganku, masa depan Natuna adalah pariwisata. Industri pariwisata lebih prospektif ketimbang pertambangan yang menyisakan kerusakan lingkungan. UN-WTO memperkirakan pariwisata dunia tahun 2006 mencapai 733 miliar dollar AS. Bahkan 75 negara yang panorama dan kebudayaannya tidak begitu penting masing-masing berhasil meraih minimal satu miliar dollar AS dari sektor ini.

Bisnis ini juga terbukti menampung pekerja dengan spektrum amat luas, mulai dari transportasi, travel, perhotelan, telekomunikasi, hiburan, pendidikan, makanan, cinderamata dan perdagangan. Jika pariwisata berkembang, kita bisa memindahkan ribuan nelayan tradisional yang sulit hidup menjadi petugas pemandu wisata, pengrajin dan penjaja cindera mata, sopir taksi, awak bus pariwisata, pengelola cottage dan restoran, operator banana boat, pemandu paralayang dan banyak lainnya lagi.

Potensi wisata di Natuna sangat banyak dan masih alami. Banyaknya terumbu karang yang indah, cocok untuk wisata diving dan snorkeling. Pantainya yang berpasir putih dan lautnya yang biru, cocok untuk dibangunnya cottages dan penginapan atau hanya sekadar menikmati pemandangan pantai. Pulau-pulau karangnya yang menjulang tinggi bak menara alam di kebiruan laut, cocok untuk wisata paralayangdan panjat tebing. Natuna juga memiliki banyak kekayaan kulinari khas Melayu tempatan, kesenian tradisional Zapin, Hadrah, Mendu, Gambus, Berendah, Ayam Sudul, Awan Mendung, Gasing dan lain-lainnya. Bila kesemuanya dipadu-padankan, maka akan merupakan suguhan wisata yang akan membuai wisatawan lokal dan manca negara.

Namun tentu saja potensi pariwisata yang dimiliki Natuna tidak akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat, bila potensi ini tidak dikelola dengan baik mulai dari sekarang. Pemerintah daerah bertanggung jawab dalam hal pembangunan pariwisata, yang meliputi pengadaan prasarana dan sarana pariwisata, menarik investor dan mempromosikan pariwisata Natuna.

Adapun tugas terberat kita (NBC?), adalah mengubah paradigma dan mental masyarakat Natuna dari semula mental nelayan tradisional (mayoritas) dan mental feodalistik (sebagian kecil) menjadi masyarakat yang memiliki mental pariwisata, yakni mental keramah-tamahan (hospitality), yang siap memberikan pelayanan, kenyamanan dan keamanan kepada setiap wisatawan yang datang berkunjung ke Natuna. Seperti pengunjung sebuah toko, wisatawan adalah raja, yang membawa kebaikan berupa uang dalam jumlah yang tidak terbatas untuk dibelanjakan sesuka hatinya...

Selamat menyongsong era pariwisata Natuna!

Kamis, 03 Juli 2008

Jangan Korupsi

Korupsi, menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia yang paling populer penggunaannya, terutama pasca reformasi 1999 dengan salah satu jargonnya : pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dalam Wikipedia Indonesia, korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Lihat saja, dari terjemahannya saja tidak satupun yang memiliki makna baik.

Dalam konteks bernegara, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Korupsi juga bermetamorfosis, seperti ulat menjadi kupu-kupu. Bahkan bisa berubah-ubah warna seperti seekor bunglon. Coba saja baca harian umum Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008. Menurut Teten Masduki, koordinator ICW, obyek sasaran korupsi dalam tiga dekade terakhir ini bergeser dari hasil sumber daya alam dan pajak pada periode 1970 – 1980, bergerak ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada tahun 1990-an hingga dewasa ini.

Indikasi pergeseran obyek korupsi itu terlihat dari pos anggaran dalam APBD yang bukan untuk mendorong perekonomian rakyat dan umum, melainkan hingga 80% bagi kepentingan pemerintah, seperti belanja pegawai. Malahan ada kekeliruan berpikir elit birokrasi dan anggota legislatif seperti membuat peraturan daerah untuk menaikkan pendapatan dari lembaga pelayanan umum yang disubsidi pemerintah seperti Rumah Sakit Umum.

Selain itu di beberapa daerah dalam APBD tercatat anggaran untuk organisasi kemasyarakatan sebesar 14%, ini lebih tinggi dari pada anggaran untuk pos pembangunan tempat pendidikan yang hanya 4%. Bisa diduga, organisasi kemasyarakatan itu dipimpin oleh elit politik, baik dari eksekutif ataupun dari legislatif atau kroni-kroninya.

Korupsi telah merusak segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi juga telah melemahkan sistem demokrasi. Korupsi telah menciptakan kesenjangan ekonomi secara tidak wajar antara pemilik kedautan negara yang sesungguhnya (rakyat, terutama rakyat jelata) dengan pamong/ abdinya sendiri (pegawai pemerintah). Korupsi juga telah mengubah perilaku dan sikap beberapa pamong dan politisi menjadi aneh dan lupa diri, seperti yang diungkapkan oleh temanku Wan Andriko dalam tulisannya: OKB (Orang Kaya/ Kabupaten Baru).

Korupsi itu perbuatan busuk, bau dan menjijikkan. Harta yang semula halal hukumnya, bila diperoleh dari korupsi akan berubah menjadi haram, sebab harta tersebut pada hakikatnya telah berubah sifat menjadi benda busuk laksana bangkai. Dengan begitu, setiap koruptor adalah burung kondor, pemakan bangkai.

Menurut Permadi, SH. tokoh PDIP yang paranormal dan penganut aliran Kejawen itu, jasad seorang koruptor tidak akan pernah diterima oleh bumi. Ih, sereeem!

Atau...

Seperti yang pernah aku dengar dari suamiku, mengutip pendapat beberapa ulama fiqih (kontemporer) : Seorang muslim yang mati bergelimang harta hasil korupsi, jasadnya tidak harus disholatkan. Nah lho! Na'udzubillah...