Sebagian besar masa kecil dan remajaku, kuhabiskan di sebuah pulau kecil bernama Sedanau, pulau yang juga tempat aku dilahirkan hampir tiga puluh dua tahun yang lalu. Aku tinggal bersama kedua orang tua dan tiga orang adikku di Jl. Panglima Hujan.
O, ya. Aku bukan anak sulung, aku anak kedua. Aku punya seorang kakak, tapi dia tidak tinggal bersama kami. Dia tinggal bersama Nenek dan Kakek kami semenjak dari kecil. Pada masanya dulu, aku merasa tidak ada yang istimewa dengan masa kecilku, malah terkesan sangat membosankan. Bagaimana tidak, dari TK hingga selesai menamatkan Sekolah Menengah Atas aku habiskan di pulau ini. Tidak seperti teman-temanku yang lain, kebanyakan setelah menyelesaikan pendidikan SMP, mereka rata-rata melanjutkan Sekolah Menengah Atas-nya di kota Tanjungpinang atau di kota Pontianak. Di pulau ini juga aku melewati masa-masa kejiwaan yang silih berganti, perasaan berbunga-bunga saat memasuki masa pubertas dengan kisah-kasih cinta pertamaku. Lalu dipenghujung masa itu aku dihadapkan pada peristiwa yang terasa sangat menyayat hatiku; aku dan adik-adikku harus kehilangan untuk selamanya ibunda tercinta. Dan ayahku juga harus kehilangan isteri tercintanya.
Ayahku (kami biasa memanggil beliau dengan sebutan Papa, itu adalah panggilan khas kami kepada beliau. Bukan hanya kami anak-anaknya saja, tapi hampir semua sepupuku dan bahkan ada beberapa temanku juga memanggilnya seperti itu) adalah seorang nelayan sangat tradisional. Waktu aku masih SD, beliau pergi memancing bahkan masih mengunakan jungkong (sampan tanpa mesin yang didayung). Tapi sayang, sampai sekarang aku belum bisa ciyaw jungkong (mendayung sampan). Ada satu kejadian yang tak terlupakan olehku. Sore itu aku disuruh oleh ayahku mengambil jungkong yang ditambat di pelabuhan agar dibawa pulang mendekati rumah kami, tapi karena aku tidak bisa mendayung, jungkong bukannya mengarah ke pingir, arah jungkong malah menjauhi pantai ke arah tengah karena dibawa arus. Dan saking panik dan takut hanyut, aku nekat nyebur ke laut, padahal aku sangat takut dengan daun lamon (sejenis tanaman laut serupa dengan daun pandan) yang gerakan daunnya bagaikan tangan-tangan gurita yang meliuk-liuk di dalam laut. Akhirnya aku menyeret jungkong itu ketepian. Hahaha! Sekarang baru aku bisa tertawa mengenangnya, dulu itu adalah kejadian yang menyebalkan.
Sesekali bila malam minggu, aku dan adikku suka diajak memancing oleh ayahku. Kalau ikan hasil tangkapannya lagi banyak, hati rasanya senang bukan kepalang. Tapi bila umpan lama tidak disambar ikan : “Boseeen! Mendingan tidur! Hehe..”. Ada syarat dari ayahku, bila aku ingin diajaknya pergi memancing, maka sebelumnya kami harus nyuluh umpan (mencari udang kecil dengan membawa petromak, untuk dijadikan umpan mancing) dulu. Pagi hari, sebelum pulang, kami biasanya mampir dulu ke belot (sejenis alat perangkap ikan yang terdiri dari bambu yang dijalin dan dipasang di tengah laut) untuk melihat apakah ada ikan yang teperangkap di dalamnya. Kadang-kadang juga bilamana kami tidak ikut pergi memancing, pada malam hari, kami menjaga belot agar tidak dicuri oleh orang lain. Suasana yang indah dan damai menyusup kalbu, di bawah benderangnya sinar rembulan malam, sambil memandang cerahnya langit yang penuh dengan bintang, di tenggah laut yang terhampar luas, yang terdengar hanya deru ombak yang bergulung dan berlomba menuju pantai. Sungguh hal yang menyenangkan (nikmat Tuhan yang manakah yang kamu ingkari, Marlina?). Aktifitas yang acapkali aku lakukan pada masa-masa itu, menjadi sesuatu hal yang aku rindukan sekarang. Ibarat sebuah sejarah, kenangan itu sepertinya tidak akan pernah terulang kembali. Sekarang, dengan penuh rasa bangga aku ceritakan pengalaman tersebut pada kedua anakku.
Ada kalanya juga, esok paginya sebelum pulang dari memancing, aku suka mencari kerang besar di sekeliling belot. Masa itu di sana masih banyak terumbu karang yang indah. Jika air laut surut kami bisa mencari kelimpat (kerang kecil), siuk (gonggong) kaghak (kerang yang agak besar), dan banyak lagi jenis biota laut lainnya. Selain belot, ayahku juga memiliki sebuah bagan (rumah jaring). Kadang-kadang aku sering ikut jaga dan menarik jaring bagan. Senang rasanya melihat banyak ikan tambon yang didapat. Pak Oi! Nikmatnya makan ikan bakar dari ikan yang masih segar.
Tidak seperti kebanyakan keluargaku yang tinggal di kedoi laot (rumah yang dibangun di atas laut), kami tinggal di panas (rumah yang dibangun di darat). Suasana di kedoi laot jauh lebih ramai dibandingkan dengan suanana di panas. Tidak heran bila aku merasa senang bila bermain di rumah nenekku yang juga berada di kedoi laot. Itu karena di sana kami bisa berenang di air laut di belakang rumah. Di kedoi laot, aku juga bisa memancing ikan beghong dan ikan mudok dari lubong pelekah (lubang yang terdapat di lantai kayu yang sengaja dibuat untuk membuang sampah dan ini terdapat di hampir semua rumah).
Tentang lubong pelekah ini, belakangan aku baru menyadari bahwa ini adalah kebiasaan hidup orang Sedanau yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Tidak menjadi masalah bila material yang dibuang ke laut itu berupa sampah organik (karena akan menjadi makanan tambahan bagi ikan-ikan dan biota laut lainnya dan sebagian lainnya kemudian akan membusuk dan terurai), menjadi masalah besar kemudian adalah sampah non-organik, sejenis pelastik, melamin, gelas dan lain-lainnya (kemudian akan mencemari perairan, terumbu karang, pantai dan hutan bakau).
Ada kebiasaan yang unik dengan kami, sepulang sekolah, jika air tengah pasang aku dan Iti suka sekali makan siang di atas jungkong yang tertambat di belakang rumah (seperti yang dikatakan Bong Jun, kalau rumahnya di daratan, garasinya berada di depan rumah untuk parkir mobil, kalau yang hidup di laut, garasi mereka ada dibelakang rumah untuk menambat jungkong). Iti ini adalah seorang teman karib (best friend), nama lengkapnya Iti Suryati. Sosok yang satu ini begitu istimewa bagiku. Dia tidak hanya sekedar teman biasa, tapi juga sebenarnya dia adalah seorang makde-ku (sebutan untuk bibi atau tante yang paling muda). Ibunya Iti adalah adik kandung dari Nenekku. Karena kesamaan umur dan sekolah membuat hubungan antara kami menjadi hybride (perpaduan saudara-teman). Iti Suryati, teman istimewaku itu, sekarang menjadi guru pengajar di SMUN 2 Ranai.
Sambil makan kami ‘mengabsen’ sampah–sampah yang lewat di dekat jungkong kami dengan candaan (ada sandal, kertas, tikar, plastik dll.) Tiba-tiba Iti menghambur naik ke jombon (seperti jembatan) dan pulang ke rumah sambil muntah-muntah. Aku berlari berusaha menghampirinya dan bertanya heran. Iti kemudian mengarahkan jarinya ke arah laut, dan tampaklah olehku (maaf!) kotoran manusia yang juga turut ‘berenang’ bersama sampah-sampah yang lain. Acara makan siang pun bubar dengan perasaan mual. Itulah adanya, kampong aek-ku tercinta tempo doeloe.
Aku memimpikan, kedepannya masyarakat Sedanau akan berubah, dengan didukung oleh usaha ‘penyadaran’ secara perlahan dan terus-menerus yang dilakukan oleh generasi muda yang cenderung memiliki intelektualias yang jauh lebih bagus, kemudian didukung juga oleh kebijakan dari pemerintah setempat dengan membuat sebuah peraturan daerah yang melarang masyarakat Sedanau membuang sampah non-organik langsung ke laut. Dengan demikian laut, terumbu karang, pantai dan hutan bakau sekitar kita akan terjaga kelestariannya dan mimpi kita Sedanau menjadi Kampong Aek yang bersih, indah dan tertib akan terwujud.
Kabar dari kawan-kawan Sedanau tentang mulai sulitnya memperoleh biota laut yang dulu sangat berlimpah dan mudah mendapatkannya seperti kelipat, siuk, kuyong, kerang, ketam botu dan kuyong botang (sejenis siput agak panjang yang hidupnya menempel pada batang bakau atau menempel pada tiang rumah). Atau tentang mulai sulitnya menangkap ikan bernilai ekonimis seperti ikan Napoleon dan ikan Kerapu Merah di sekitar pantai, sehingga untuk mendapatkannya harus pergi bermil-mil ke tengah laut, memerlukan waktu yang lama dan banyak menghabiskan bahan bakar minyak yang kini semakin langka dan mahal. Ini sungguh membuat aku prihatin...
Ayahku (kami biasa memanggil beliau dengan sebutan Papa, itu adalah panggilan khas kami kepada beliau. Bukan hanya kami anak-anaknya saja, tapi hampir semua sepupuku dan bahkan ada beberapa temanku juga memanggilnya seperti itu) adalah seorang nelayan sangat tradisional. Waktu aku masih SD, beliau pergi memancing bahkan masih mengunakan jungkong (sampan tanpa mesin yang didayung). Tapi sayang, sampai sekarang aku belum bisa ciyaw jungkong (mendayung sampan). Ada satu kejadian yang tak terlupakan olehku. Sore itu aku disuruh oleh ayahku mengambil jungkong yang ditambat di pelabuhan agar dibawa pulang mendekati rumah kami, tapi karena aku tidak bisa mendayung, jungkong bukannya mengarah ke pingir, arah jungkong malah menjauhi pantai ke arah tengah karena dibawa arus. Dan saking panik dan takut hanyut, aku nekat nyebur ke laut, padahal aku sangat takut dengan daun lamon (sejenis tanaman laut serupa dengan daun pandan) yang gerakan daunnya bagaikan tangan-tangan gurita yang meliuk-liuk di dalam laut. Akhirnya aku menyeret jungkong itu ketepian. Hahaha! Sekarang baru aku bisa tertawa mengenangnya, dulu itu adalah kejadian yang menyebalkan.
Sesekali bila malam minggu, aku dan adikku suka diajak memancing oleh ayahku. Kalau ikan hasil tangkapannya lagi banyak, hati rasanya senang bukan kepalang. Tapi bila umpan lama tidak disambar ikan : “Boseeen! Mendingan tidur! Hehe..”. Ada syarat dari ayahku, bila aku ingin diajaknya pergi memancing, maka sebelumnya kami harus nyuluh umpan (mencari udang kecil dengan membawa petromak, untuk dijadikan umpan mancing) dulu. Pagi hari, sebelum pulang, kami biasanya mampir dulu ke belot (sejenis alat perangkap ikan yang terdiri dari bambu yang dijalin dan dipasang di tengah laut) untuk melihat apakah ada ikan yang teperangkap di dalamnya. Kadang-kadang juga bilamana kami tidak ikut pergi memancing, pada malam hari, kami menjaga belot agar tidak dicuri oleh orang lain. Suasana yang indah dan damai menyusup kalbu, di bawah benderangnya sinar rembulan malam, sambil memandang cerahnya langit yang penuh dengan bintang, di tenggah laut yang terhampar luas, yang terdengar hanya deru ombak yang bergulung dan berlomba menuju pantai. Sungguh hal yang menyenangkan (nikmat Tuhan yang manakah yang kamu ingkari, Marlina?). Aktifitas yang acapkali aku lakukan pada masa-masa itu, menjadi sesuatu hal yang aku rindukan sekarang. Ibarat sebuah sejarah, kenangan itu sepertinya tidak akan pernah terulang kembali. Sekarang, dengan penuh rasa bangga aku ceritakan pengalaman tersebut pada kedua anakku.
Ada kalanya juga, esok paginya sebelum pulang dari memancing, aku suka mencari kerang besar di sekeliling belot. Masa itu di sana masih banyak terumbu karang yang indah. Jika air laut surut kami bisa mencari kelimpat (kerang kecil), siuk (gonggong) kaghak (kerang yang agak besar), dan banyak lagi jenis biota laut lainnya. Selain belot, ayahku juga memiliki sebuah bagan (rumah jaring). Kadang-kadang aku sering ikut jaga dan menarik jaring bagan. Senang rasanya melihat banyak ikan tambon yang didapat. Pak Oi! Nikmatnya makan ikan bakar dari ikan yang masih segar.
Tidak seperti kebanyakan keluargaku yang tinggal di kedoi laot (rumah yang dibangun di atas laut), kami tinggal di panas (rumah yang dibangun di darat). Suasana di kedoi laot jauh lebih ramai dibandingkan dengan suanana di panas. Tidak heran bila aku merasa senang bila bermain di rumah nenekku yang juga berada di kedoi laot. Itu karena di sana kami bisa berenang di air laut di belakang rumah. Di kedoi laot, aku juga bisa memancing ikan beghong dan ikan mudok dari lubong pelekah (lubang yang terdapat di lantai kayu yang sengaja dibuat untuk membuang sampah dan ini terdapat di hampir semua rumah).
Tentang lubong pelekah ini, belakangan aku baru menyadari bahwa ini adalah kebiasaan hidup orang Sedanau yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Tidak menjadi masalah bila material yang dibuang ke laut itu berupa sampah organik (karena akan menjadi makanan tambahan bagi ikan-ikan dan biota laut lainnya dan sebagian lainnya kemudian akan membusuk dan terurai), menjadi masalah besar kemudian adalah sampah non-organik, sejenis pelastik, melamin, gelas dan lain-lainnya (kemudian akan mencemari perairan, terumbu karang, pantai dan hutan bakau).
Ada kebiasaan yang unik dengan kami, sepulang sekolah, jika air tengah pasang aku dan Iti suka sekali makan siang di atas jungkong yang tertambat di belakang rumah (seperti yang dikatakan Bong Jun, kalau rumahnya di daratan, garasinya berada di depan rumah untuk parkir mobil, kalau yang hidup di laut, garasi mereka ada dibelakang rumah untuk menambat jungkong). Iti ini adalah seorang teman karib (best friend), nama lengkapnya Iti Suryati. Sosok yang satu ini begitu istimewa bagiku. Dia tidak hanya sekedar teman biasa, tapi juga sebenarnya dia adalah seorang makde-ku (sebutan untuk bibi atau tante yang paling muda). Ibunya Iti adalah adik kandung dari Nenekku. Karena kesamaan umur dan sekolah membuat hubungan antara kami menjadi hybride (perpaduan saudara-teman). Iti Suryati, teman istimewaku itu, sekarang menjadi guru pengajar di SMUN 2 Ranai.
Sambil makan kami ‘mengabsen’ sampah–sampah yang lewat di dekat jungkong kami dengan candaan (ada sandal, kertas, tikar, plastik dll.) Tiba-tiba Iti menghambur naik ke jombon (seperti jembatan) dan pulang ke rumah sambil muntah-muntah. Aku berlari berusaha menghampirinya dan bertanya heran. Iti kemudian mengarahkan jarinya ke arah laut, dan tampaklah olehku (maaf!) kotoran manusia yang juga turut ‘berenang’ bersama sampah-sampah yang lain. Acara makan siang pun bubar dengan perasaan mual. Itulah adanya, kampong aek-ku tercinta tempo doeloe.
Aku memimpikan, kedepannya masyarakat Sedanau akan berubah, dengan didukung oleh usaha ‘penyadaran’ secara perlahan dan terus-menerus yang dilakukan oleh generasi muda yang cenderung memiliki intelektualias yang jauh lebih bagus, kemudian didukung juga oleh kebijakan dari pemerintah setempat dengan membuat sebuah peraturan daerah yang melarang masyarakat Sedanau membuang sampah non-organik langsung ke laut. Dengan demikian laut, terumbu karang, pantai dan hutan bakau sekitar kita akan terjaga kelestariannya dan mimpi kita Sedanau menjadi Kampong Aek yang bersih, indah dan tertib akan terwujud.
Kabar dari kawan-kawan Sedanau tentang mulai sulitnya memperoleh biota laut yang dulu sangat berlimpah dan mudah mendapatkannya seperti kelipat, siuk, kuyong, kerang, ketam botu dan kuyong botang (sejenis siput agak panjang yang hidupnya menempel pada batang bakau atau menempel pada tiang rumah). Atau tentang mulai sulitnya menangkap ikan bernilai ekonimis seperti ikan Napoleon dan ikan Kerapu Merah di sekitar pantai, sehingga untuk mendapatkannya harus pergi bermil-mil ke tengah laut, memerlukan waktu yang lama dan banyak menghabiskan bahan bakar minyak yang kini semakin langka dan mahal. Ini sungguh membuat aku prihatin...
2 komentar:
teringat masa yang lalu.....berdua di ........... hahahahaha. lain parang lain ulu, sedonou sekarang ndok same dengan dulu. Kalau piwang nak liat gowoi di sedonou singgoh kat web blog bongjun.Marlina where is ode ?
Hahaha....
Ode stay at Penagi, Ranai.
Posting Komentar