Sabtu, 19 April 2008

Dermochelys Coreacea

Pada malam empat hari lalu, aku kedatangan dua orang sepupuku. Setelah bersalaman dan bincang-bincang, kemudian seorang dari mereka berdua menyerahkan tentengan di tangannya berupa sekantong plastik ‘kresek hitam’ yang setelah kubuka isinya ternyata adalah beberapa butir telur bulat bercangkang putih-lunak. Apalagi kalau bukan telur penyu. Dugaanku itu adalah telur penyu belimbing (Dermochelys Coreacea). Mereka memperoleh telur-telur ini kiriman dari saudaranya di Natuna.

Perlu dua hari sampai akhirnya telur-telur itu diputuskan untuk 'dieksekusi' dengan cara direbus. Dua hari, waktu yang sangat lama hanya untuk memutuskan ‘keputusan’ yang sepele seperti itu. Eit! Tunggu dulu. Ternyata masalah telur penyu ini bukan lagi masalah sepele ketika itu terjadi di rumahku. Maklum suamiku adalah aktifis gerakan hijau di tempatnya bekerja. Saat ini dia menjadi Ketua Koordinator Green Team, dan juga aktif di Yayasan A Tree for A Child (ATFAC), sebuah yayasan peduli lingkungan hidup dan anti eksploitasi anak-anak (Children Trafficing) yang didirikan oleh jaringan waralaba hotel ACCOR yang berpusat di Paris, Perancis.

Hari pertama, aku ’diceramahi’ oleh suamiku tentang penyu ini. Katanya penyu belimbing merupakan salah satu fauna laut langka dan dilindungi oleh pemerintah banyak negara. Langka oleh karena tingkat kembang-biaknya yang lamban yang disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah karena adanya perburuan dan penjarahan penyu untuk dikonsumsi daging dan telurnya. Sebenarnya, tanpa perburuan dan penjarahan pun, perkembang-biakan penyu tetap akan lamban, karena memang perjalanan hidup penyu ini paling rentan terhadap ancaman.

Penyu mengalami siklus bertelur yang beragam, dari 2 - 8 tahun sekali. Sementara penyu jantan menghabiskan seluruh hidupnya di laut, betina sesekali mampir ke daratan untuk bertelur. Penyu betina menyukai pantai berpasir yang sepi dari manusia dan sumber bising dan cahaya sebagai tempat bertelur yang berjumlah ratusan itu, dalam lubang yang digali dengan sepasang tungkai belakangnya. Pada saat mendarat untuk bertelur, gangguan berupa cahaya ataupun suara dapat membuat penyu mengurungkan niatnya dan kembali ke laut. Penyu yang menetas di perairan pantai Indonesia ada yang ditemukan di sekitar kepulauan Hawaii. Penyu diketahui tidak setia pada tempat kelahirannya. Tidak banyak generasi yang dihasilkan seekor penyu. Dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak hanya belasan tukik yang berhasil sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Itu pun tidak memperhitungkan faktor perburuan oleh manusia dan pemangsa alaminya seperti kepiting, burung dan tikus di pantai, serta ikan-ikan besar begitu tukik (anak penyu) tersebut menyentuh perairan dalam.

Hari kedua, kami masih mencari solusi untuk menyelamat telur-telur penyu tersebut, tapi buntu karena opsi tidak memungkinkan untuk dijalankan. Bagaimana mungkin, toh opsinya adalah mengubur telur-telur itu ke dalam gundukan pasir sisa bangunan yang ada di belakang rumah kami. Kalaupun berhasil menetas, tukik-tukik itu akan segera mati terkapar, karena kami tidak tinggal dekat pantai.

Akhirnya, dengan berat hati aku harus merebus telur-telur bercangkang putih-lunak itu. Tetap saja mubazir, karena tak seorangpun dari anggota keluargaku yang mau mencoba mengonsumsinya.

Keinginanku, jangan lagi ada penjarahan telur-telur penyu, jangan lagi ada kebiasaan mengonsumsi telur penyu. Lebih dari itu semua, jangan lagi ada ‘kebanggaan’ menjadikan telur-telur penyu sebagai buah tangan dari Natuna. Tetapi mulailah bangga, bahwa kini masyarakat Natuna tidak lagi mengonsumsi telur-telur penyu...


Tidak ada komentar: