Kamis, 27 Maret 2008

Indosiar


Sudah tiga hari ini di rumah kami terjadi ‘kehebohan’. Kehebohan yang dilakukan oleh kedua anak-anakku. Heboh oleh karena merasa kehilangan sesuatu yang ‘berharga’. Heboh oleh karena pertanyaan yang tak terjawabkan. Heboh oleh karena usaha mereka untuk menemukannya kembali yang sia-sia. Yang mereka hebohkan tiada lain adalah hilangnya salah satu channel TV pada pesawat TV kami. Dan channel itu bernama INDOSIAR...

INDOSIAR.
Semua tahu, adalah sebuah televisi swasta nasional milik PT. Indosiar Visual Mandiri (“Perseroan”), merupakan salah satu dari sederetan televisi swasta nasional di Indonesia yang terbilang sukses menjadi stasiun televisi terkemuka dengan tayangan yang bersumber pada in-house production. Televisi ini didirikan pada tahun 1991 dan mulai beroperasi dengan menayangkan siaran perdana pada tanggal 11 Januari 1995, merupakan televisi termuda dari empat televisi lain yang sudah ada pada masa itu. Indosiarpun, dengan 34 stasiun relai yang dimilikinya, kini dapat dinikmati oleh seluruh pemirsa hingga pelosok tanah air, dengan jangkauan siaran yang mencapai 80% dari total penduduk Indonesia. Hebatnya lagi dalam sebuah realize-nya, saat ini Indosiar sedang membangun stasiun pemancar baru di Jakarta dengan tinggi kurang lebih 400 meter untuk meningkatkan kualitas penerimaan siaran di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya yang terganggu akibat perkembangan pembangunan gedung-gedung tinggi yang sangat cepat selama lima tahun terakhir. So, hebat ‘kan televisi yang satu ini? Kalau memang benar hebat, lalu kenapa channel televisi itu dalam tiga hari ini henghilang begitu saja dari pesawat televisi kami?

Aku mulai mencoba mencari tahu sebabnya. Pertanyaan awal pada hari pertama yang aku ajukan kepada anakku yang sulung adalah; sejak saat kapan Indosiar mulai tidak bisa dilihat lagi. Dan aku mendapatkan jawaban : “Sejak saat adzan Maghrib, Ma!”, katanya yang juga diamini oleh adiknya. Aku mengernyitkan keningku, mencoba mengingat-ingat apa saja yang terjadi pada saat itu. Terlintas dalam ingatanku, ada dua aktifitas yang berlangsung saat kumandang adzan Maghrib dari speaker Masjid Jamie Al- Muhajirin di sebelah rumahku. Yaitu pertama, kedua anak-anakku masing-masing membawakan piring kotor bekas makan sorenya ke dapur, lalu mereka mencuci tangannya masing-masing. Kemudian yang kedua, hampir bersamaan dengan itu aku juga menyaksikan suamiku dengan pakaian lengkapnya hendak pergi ke masjid, berjalan keluar dari kamar tidur kami. Tapi aku yakin, saat itu suamiku tidak langsung melangkah pergi ke masjid, tetapi langkahnya sempat terhenti beberapa saat di depan pesawat televisi, sebelum akhirnya kudengar suara ia menutup pintu depan rumah kami. “Ah, suamikukah yang menghilangkan channel Indosiar itu dari pesawat TV kami?”. Bisa jadi memang benar. Tapi nanti saja, akan kutanyakan kebenarannya padanya. Dan kalau benar, aku juga ingin tahu apa sebabnya. Adakah tindakannya itu oleh sesuatu yang prinsip baginya???

Sabtu, 22 Maret 2008

Global Warming

Kalau dua hari yang lalu aku menulis tentang kegalauanku atas fenomena sosial terkait dengan keadaan perekonomian (inflasi) negara kita saat ini, kali ini aku ingin mencoba mengungkapkan kegalauan hatiku yang yang lain, yang berhubungan dengan fenomena alam yang belakangan ini sering terjadi.

Bencana alam datang silih berganti; hujan badai, gelombang pasang, banjir bandang, longsor, serta angin puting beliung. Di sisi lain juga ada bencana kekeringan panjang, gelombang udara panas serta kebakaran hutan dan lahan. Konon itu semua adalah disebabkan oleh apa yang disebut sebagai terjadinya Perubahan Iklim (Climate Change). Dari yang aku baca, konon pula Climate Change ini disebabkan oleh adanya Pemanasan Global (Global Warming). Dan yang paling mencemaskan pikiranku dari "sang Global Warming" ini adalah : MENCAIRNYA LAPISAN GUNUNG ES DI KUTUB!

Kenapa aku harus mencemaskan hal itu? Tentu saja ini ada kaitannya dengan kampung halamanku, Natuna. Lalu, apa hubungannya mencairnya lapisan gunung es di Kutub dengan Natuna? Jauh panggang dari api. Jangankan dari Kutub Utara (yang menurut Google Earth jaraknya ke Natuna sekitar lk. 7.000 Mil), dari Jakarta saja sebagai ibu kota Negara (lk. 710 Mil), atau bahkan dari Tanjungpinang sekalipun sebagai ibu kota provinsi (lk. 340 Mil), Natuna itu jauh, nun di ujung utara dari teritorial negeri ini. Tepatnya di ujung ‘ekor itik’-nya pulau Kalimantan, berseberangan dengan semenanjung Vietnam.

Mengutip data yang diperoleh dari situs Wikipedia Indonesia, berdasarkan kondisi fisiknya, Kabupaten Natuna merupakan tanah berbukit dan bergunung batu. Dataran rendah dan landai banyak ditemukan di pinggir pantai. Ketinggian wilayah antara kecamatan cukup beragam, yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 959 meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara 2 sampai 5 meter. Pada umumnya struktur tanah terdiri dari tanah podsolik merah kuning dari batuan yang tanah dasarnya mempunyai bahan granit, dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus. Selain itu iklim di Kabupaten Natuna sangat dipengaruhi oleh perubahan arah angin. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Maret sampai dengan bulan Juli. Curah hujan rata-rata berkisar 137,6 milimeter dengan rata-rata kelembaban udara sekitar 83,17 persen dan temperatur berkisar 27,10 celcius.

Mencermati keadaan geografis Kabupaten Natuna seperti diuraikan diatas, ancaman pemanasan global juga akan berdampak serius terhadap pulau kelahiranku tercinta itu. Para ilmuwan memperkirakan pemanasan lebih jauh hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius pada tahun 2100. Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm, menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau. Seiring meningginya permukaan air laut, maka dalam kurun waktu 92 tahun ke depan, Natuna juga akan kehilangan ribuan kilo meter garis pantainya yang ada saat ini. Terutama garis pantai pada pulau dengan ketinggian kurang dari tiga meter di atas permukaan laut. Saat ini saja di beberapa tempat lain di belahan bumi, sudah mulai banyak pulau kecil yang hilang tertelan laut. Pulau-pulau itu umumnya hanya memiliki ketinggian kurang dari setengah meter dari permukaan laut. Bahkan pantai-pantai wisata yang indah di gugusan Kepulauan Maladewa (Maldives) yang berada di Samudera Hindia, garis pantainya sekarang sudah mulai menyusut dan bahkan beberapa pulaunya terancam nyaris tenggelam.

Sesungguhnya tidak hanya dampak pemanasan global saja yang mengancam eksistensi sebuah pulau, letusan gunung berapi bawah laut atau gempa bumi tektonik berkekuatan dahsyat (lebih dari 6,5 SR pada kedalaman kurang dari 10 KM di bawah permukaan laut) juga akan menyebabkan akibat yang sama. Tapi untunglah pulau-pulau di Kabupaten Natuna seperti halnya pulau Kalimantan tidak berpijak diatas lempengan bumi yang labil. Lain halnya dengan pulau-pulau di sepanjang pantai barat pulau Sumatera, selatan pulau Jawa, Bali, NTT dan NTB hingga pulau-pulau di sekitar Laut Banda yang memang berada diatas lempeng Indo-Australia yang selalu aktif bergerak. Untuk gempa bumi, Natuna disinyalir aman, tapi terhadap dampak global warming Natuna secara perlahan dipastikan akan terkena imbasnya. Tak terbayangkan olehku jika hal itu terjadi, karena masa kecilku di sana terasa sangat indah (lain kali aku akan bercerita tentang masa kecil ku yang indah di sana).

Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar hal yang mencemaskan kita ini tidak terjadi? Mulailah dari diri kita sendiri! Sebagai warga bumi (earth guest) yang kebetulan mendiami wilayah kepulauan yang kecil-kecil ini. Sudah saatnya untuk segera berbuat (tidak lagi hanya memikirkan) untuk menyelamatkan pulau-pulau cantik milik kita ini, tempat lahir dan hidup kita, tempat bersemayamnya jasad-jasad orang tua dan leluhur kita ini. Jangan lagi ada yang membabat hutan, karena hutan selain berfungsi sebagai penangkal berbagai bencana, juga berperan sangat penting sebagai penyerap karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Karbondioksida telah menimbulkan efek rumah kaca dan memicu terjadinya pemanasan bumi. Hentikan sekarang juga pembabatan hutan bakau (mangrove) hanya untuk diambil kayunya sebagai bahan baku kayu arang, dan segera lakukan penanaman kembali. Demikian juga, jangan lagi ada pengrusakan terumbu karang (corals) hanya karena ingin dengan mudah menangkap ikan Napoleon atau ikan Kerapu Merah yang bernilai ekonomi tinggi itu, atau hanya untuk dijadikan pondasi bangunan rumah dan jalan. Mangrove dan corals selain sebagai habitat ideal bagi berkembang-biaknya ikan-ikan dan biota laut lainnya, juga terbukti efektif mencegah abrasi pantai dari amukan gelombang pasang yang senantiasa mengintai daerah pesisir di manapun di muka bumi ini.

Aku masih ingin punya kampung halaman, dan kampung halaman itu adalah sebuah pulau kecil. Jangan biarkan ia kelak tenggelam oleh keserakahan dan ketidak-pedulian kita!

"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.."
(QS. Al-A'raf/7 :56).

Kamis, 20 Maret 2008

Ini Adalah Ujian Hidup

Kemarin aku menyimak berita di televisi tentang seorang ibu telah membunuh dua orang anaknya yang masih balita. Lagi-lagi seorang ibu. Dan berita itu pun menjadi topik utama di warung sayur laggananku. Berbagai komentar dari ibu-ibu tentang kejadian itu dan salah satunya yang menarik perhatianku adalah ungkapan-ungkapan : “Kok teganya, diakan yang melahirkannya?” atau “Sakit jiwa barangkali ibu itu”. Sungguh miris aku mendengarnya.

Buat aku yang juga seorang ibu, kejadian diatas memang sangat memprihatinkan. Tapi kalau kita berpikir dari sudut seorang wanita dan ibu rumah tangga, apa yang dilakukan ibu diatas bisa dipahami. Keadaanlah yang membuat seorang ibu begitu tega melakukan hal itu. Dengan pola pikirnya yang sederhana, jika anak-anaknya mati tentu mereka tidak akan menderita lagi oleh karena ketidak-mampuan orang tuanya. Seorang ibu tidak akan tega melihat anak-anaknya menderita karena kelaparan. Begitu juga seorang ibu akan memiliki perasaan yang sama ketika tidak dapat memenuhi apa yang menjadi keiginan dari sang anak. Tapi dengan keadaan yang serba mahal seperti sekarang ini, siapa sih yang tidak menjadi stress? Yang paling merasakan dampaknya secara langsung tentunya para ibu rumah tangga. Karena kenaikan harga-harga saat ini tidak segaris lurus dengan penghasilan yang umumnya diterima oleh kalangan menengah ke bawah.

Itulah fenomena sosial yang sedang terjadi belakangan ini di berbagai tempat di tanah air tercinta ini. Tidak hanya kasus yang diatas, tapi belakangan ini banyak sekali kasus-kasus yang membuat kita merasa sangat khawatir; kasus gizi buruk, busung lapar dan anak-anak yang kelaparan . Semakin banyak juga kita dengar kasus bunuh diri seluruh anggota keluarga hanya karena tidak kuat dengan kemiskinan yang melilit. Tuhanku, inikah ujian dari-Mu buat kami hamba mu yang telah begitu lalai mengingat kebesaran-Mu? Ampunilah kami ya Rabb, karna dosa dan khilaf kami selama ini. Semoga Engkau selalu memberikan kekuatan pada kami dalam menghadapi berbagai ujian dari-Mu.

Aku menjadi teringat dengan apa yang pernah aku baca dalam buku "Berbahagialah" yang ditulis oleh Dr. 'Aidh Abdullah Al-Qarni (yang juga penulis buku best seller La Tahzan). Bahwa ada tiga macam ujian yang Allah berikan buat menguji keimanan para hambanya, yaitu :

Pertama, ujian berupa kefakiran atau kesempitan (miskin tidak berharta dan kekurangan). Yang satu ini merupakan ujian dari Allah yang paling ringan.

Kedua, ujian berupa rasa sakit atau penderitaan. Berupa penyakit atau sakit yang kronis dan luka, baik bathin maupun lahiriyah. Jika kita tabah dan ikhlas menerinanya insyaallah berguguranlah dosa-dosa kita.

Ketiga, ujian berupa perang. Karena perang akan menghancurkan semuanya baik harta maupaun raga.

Dan Allah memulainya dengan kefakiran, karena ini adalah yang teringan diantara yang tiga. Dan sabar atas ujian akan kemiskinan ini lebih ringan dari sabar atas sakit dan perang. Namun sekarang ini ujian yang paling ringanpun banyak dari kita yang tidak sanggup melaluinya dengan sabar, tawakal dan ikhlas.

Akhirnya hanya kepada Allah kita memohon agar diberi kekuatan dalam menghadapi ujian yang paling ringan ini. Dan memohon agar ditambahkan lagi kesabaran kepada kita semua. Mudah-mudahan dengan kesabaran dan keikhlasan kita akan memperoleh pahala dari Allah SWT.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Rabu, 19 Maret 2008

Aku Mantu

Hari Sabtu, 8 Maret yang lalu bertambah lagi satu peristiwa yang menjadi bagian dari sejarah kehidupanku. Aku Mantu!

Mantu atau manthu, berasal dari kata utuh menantu. Dalam masyarakat Jawa, manthu adalah suatu istilah yang maksudnya kira-kira menyelenggarakan acara atau hajatan dalam rangka pernikahan anak. Kalau anak kita perempuan, mantu berarti mendapatkan menantu laki-laki. Sedangkan kalau anak kita laki-laki, maka berarti mendapatkan menantu perempuan. Lho! Kok aku mantu? Aku kan belum punya anak, baik anak laki-laki ataupun perempuan yang sudah cukup umur untuk menikah? Anakku yang sulung laki-laki, baru dua belas tahun, baru kelas enam SD. Sedangkan anakku yang bungsu (setidaknya untuk saat ini) baru 7 tahun, kelas satu SD.

Kira-kira sebulan sebelum hari aku mantu, aku dan suami mendapatkan telepon dari ayahanda kami di Sedanau. Isinya, oleh karena beberapa hal ( jarak, finansial dan kondisional lainnya), beliau memberikan 'mandat' kepada kami untuk menyelenggarakan acara pernikahan adikku yang perempuan satu-satunya (Telly Artati namanya) di kediaman kami di Pekanbaru.

Aku dan suami tidak menolak dan tidak keberatan menerima mandat itu. Pasalnya, adikku yang satu ini punya tempat tersendiri dalam kehidupan kami. Dia bukan hanya secara biologis adalah adikku, tetapi secara fsikologis aku dan suami merasakannya laksana anak sendiri. Betapa tidak, dia sudah bersamaan-sama kami selama dua belas tahun dari tiga belas tahun usia pernikahan kami! Jogja, Bandung, Bogor, Subang dan terakhir Pekanbaru, dia selalu bersama-sama kami...

Maka dari itu, aku tidak merasa aneh ketika beberapa tetanggaku dan rekan-rekan kerja suamiku mengatakan kalau kami mantu.

Kini adikku yang 'anakku' itu sudah pergi meninggalkan kami, dipersunting oleh bujang Sumatra Barat, Efrizal Saputra namanya. Mereka kini sedang meniti bahtera rumah tangga yang mereka cita-citakan, nun disana di Pulau Batam tempat suaminya bekerja. Kuiringi kepergian mereka dengan sebuah do'a dan harapan : Semoga kalian berdua diberkahi Allah dan disatukan oleh Allah dalam segala kebaikan.


Amiin.

Album Pernikahan Telly - Rizal : http://tellywedding.blogspot.com

Selasa, 18 Maret 2008

Basmalah

Atas saran dari seorang teman lama, hari ini dengan memohon rahmat dari Allah SWT saya membuat blog ini. Dengan harapan, pada blog ini saya dapat unjuk cerita, unjuk gagas dan unjuk rasa kepada orang lain. Unjukku yang baik, ambilah sebagai kebaikan untuk kita bersama. Unjukku yang dianggap tidak baik, maka sudilah untuk membantu memperbaikinya.

Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.

Terima kasih kepada Bung Raja Darmika atas saran yang telah diberikan.
Terima kasih kepada suamiku tercinta, yang telah dengan setia membantuku menyiapkan blog ini.