Korupsi, menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia yang paling populer penggunaannya, terutama pasca reformasi 1999 dengan salah satu jargonnya : pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dalam Wikipedia Indonesia, korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Lihat saja, dari terjemahannya saja tidak satupun yang memiliki makna baik.
Dalam konteks bernegara, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi juga bermetamorfosis, seperti ulat menjadi kupu-kupu. Bahkan bisa berubah-ubah warna seperti seekor bunglon. Coba saja baca harian umum Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008. Menurut Teten Masduki, koordinator ICW, obyek sasaran korupsi dalam tiga dekade terakhir ini bergeser dari hasil sumber daya alam dan pajak pada periode 1970 – 1980, bergerak ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada tahun 1990-an hingga dewasa ini.
Indikasi pergeseran obyek korupsi itu terlihat dari pos anggaran dalam APBD yang bukan untuk mendorong perekonomian rakyat dan umum, melainkan hingga 80% bagi kepentingan pemerintah, seperti belanja pegawai. Malahan ada kekeliruan berpikir elit birokrasi dan anggota legislatif seperti membuat peraturan daerah untuk menaikkan pendapatan dari lembaga pelayanan umum yang disubsidi pemerintah seperti Rumah Sakit Umum.
Selain itu di beberapa daerah dalam APBD tercatat anggaran untuk organisasi kemasyarakatan sebesar 14%, ini lebih tinggi dari pada anggaran untuk pos pembangunan tempat pendidikan yang hanya 4%. Bisa diduga, organisasi kemasyarakatan itu dipimpin oleh elit politik, baik dari eksekutif ataupun dari legislatif atau kroni-kroninya.
Korupsi telah merusak segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi juga telah melemahkan sistem demokrasi. Korupsi telah menciptakan kesenjangan ekonomi secara tidak wajar antara pemilik kedautan negara yang sesungguhnya (rakyat, terutama rakyat jelata) dengan pamong/ abdinya sendiri (pegawai pemerintah). Korupsi juga telah mengubah perilaku dan sikap beberapa pamong dan politisi menjadi aneh dan lupa diri, seperti yang diungkapkan oleh temanku Wan Andriko dalam tulisannya: OKB (Orang Kaya/ Kabupaten Baru).
Korupsi itu perbuatan busuk, bau dan menjijikkan. Harta yang semula halal hukumnya, bila diperoleh dari korupsi akan berubah menjadi haram, sebab harta tersebut pada hakikatnya telah berubah sifat menjadi benda busuk laksana bangkai. Dengan begitu, setiap koruptor adalah burung kondor, pemakan bangkai.
Menurut Permadi, SH. tokoh PDIP yang paranormal dan penganut aliran Kejawen itu, jasad seorang koruptor tidak akan pernah diterima oleh bumi. Ih, sereeem!
Atau...
Seperti yang pernah aku dengar dari suamiku, mengutip pendapat beberapa ulama fiqih (kontemporer) : Seorang muslim yang mati bergelimang harta hasil korupsi, jasadnya tidak harus disholatkan. Nah lho! Na'udzubillah...
2 komentar:
Mudah2an para pejabat kite boce... ye artikel ini...biar mereka pade tau..and sadar tidak mengelabui rakyatnya lg.. bahagia dibawah penderitaan rakyat, oye saye pernah boce hadist memang Nabi tak mau menyolatkan mayat yang ade hutang.. bukan kah harta hasil korupsi adalah hutang (harta rakyat)..? tapi buat para sahabatnya beliau persilakan utk menyolatkan
Orang mati syahid kata nabi akan masuk ke dalam surga...kecuali yang punya hutang.., semoga ya kita dijauhkan dari memakan harta yang bukan menjadi hak kita & menzalimi hak-hak orang lain..3x...
Posting Komentar